Meme Politik Berujung Pidana: Polisi Tetapkan Mahasiswi ITB Tersangka
Dunia maya kembali menjadi panggung perdebatan sengit setelah seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Pemicu kasus ini adalah sebuah meme politik yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam konteks satir. Meme yang sempat viral di media sosial itu dinilai melecehkan simbol negara dan dianggap melanggar undang-undang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
Awal Mula Kasus
Peristiwa bermula dari unggahan akun anonim yang menyebarkan meme dengan wajah Prabowo dan Jokowi disandingkan dalam ilustrasi yang dianggap “tidak pantas” oleh sebagian netizen dan pejabat. Tak berselang lama, unggahan tersebut dikaitkan dengan akun pribadi sang mahasiswi, yang kemudian diselidiki oleh Direktorat Siber Kepolisian.
Berdasarkan hasil penelusuran digital forensik, pihak berwenang mengklaim memiliki cukup bukti bahwa mahasiswi berinisial NR adalah orang di balik unggahan tersebut. Ia pun dipanggil untuk dimintai keterangan dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) dan/atau Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penghinaan dan ujaran kebencian.
Respons Publik Terbelah
Kasus ini langsung memantik kontroversi luas. Sebagian masyarakat menilai penetapan tersangka terhadap NR sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Tagar #BebaskanNR bahkan sempat menjadi trending topic di X (dulu Twitter), dengan ribuan warganet menyuarakan solidaritas dan menolak kriminalisasi ekspresi digital.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang mendukung tindakan kepolisian, mengingat meme yang dibuat dianggap berpotensi memicu perpecahan dan mencederai wibawa pemimpin negara.
Pandangan Ahli dan Akademisi
Sejumlah akademisi dan pakar hukum turut angkat bicara. Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Dr. Sari Wulandari, menilai bahwa aparat harus cermat dalam menafsirkan pasal-pasal karet dalam UU ITE.
“Kritik politik dalam bentuk meme seharusnya dipahami sebagai bagian dari demokrasi. Jika semua bentuk ekspresi dianggap penghinaan, maka ruang publik kita akan semakin sempit,” ujarnya.
Sementara itu, pihak ITB belum memberikan keterangan resmi, namun beberapa rekan mahasiswa menyatakan keprihatinan dan berharap agar proses hukum berjalan adil tanpa tekanan politik.
Pelajaran Bagi Generasi Digital
Kasus NR menjadi pengingat keras bagi generasi muda yang aktif di media sosial bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital tetap memiliki batas. Meski satir dan kritik politik adalah bagian dari dinamika demokrasi, penyampaiannya harus mempertimbangkan etika dan hukum yang berlaku.
Namun demikian, polemik ini juga membuka kembali wacana revisi UU ITE yang dinilai rentan disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis.
Ketika meme tak lagi sekadar hiburan, dan bertransformasi menjadi alat kritik politik, garis batas antara ekspresi dan pelanggaran hukum menjadi semakin tipis. Kasus mahasiswi ITB ini akan menjadi preseden penting dalam sejarah digital Indonesia – akankah memperkuat demokrasi, atau justru menjadi babak baru dari ketakutan berekspresi?