20 Tahun Cuma Harapan: MAKI Kecewa Vonis Gazalba Dipangkas MA
Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman pidana terhadap Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh menuai sorotan tajam dari masyarakat, terutama dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Organisasi pemantau antikorupsi ini menyuarakan kekecewaannya secara terbuka, menyebut bahwa keadilan yang diharapkan selama ini hanya tinggal harapan kosong.
Pemangkasan Vonis, Simbol Kegamangan Hukum?
Dalam kasus yang melibatkan salah satu pejabat tertinggi di lingkungan peradilan, publik berharap adanya vonis yang setimpal—bahkan menjadi preseden positif untuk penegakan hukum. Namun kenyataannya, MA justru memutuskan untuk mengurangi masa hukuman Gazalba Saleh. Dari pidana penjara yang sebelumnya lebih berat, hukuman tersebut dipangkas menjadi lebih ringan.
MAKI dengan lantang menilai bahwa langkah tersebut justru menunjukkan kegamangan Mahkamah Agung dalam menghadirkan keadilan yang seimbang dan transparan. “Bagaimana mungkin lembaga tertinggi peradilan justru memperlemah hukuman terhadap pelanggar hukum dari kalangan mereka sendiri?” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, dalam pernyataan tertulisnya.
Harapan 20 Tahun yang Pudar
MAKI sejak awal berharap agar hukuman terhadap Gazalba bisa mencapai 20 tahun penjara. Menurut mereka, hal ini bukan semata demi menghukum pelaku, melainkan sebagai pesan kuat bahwa sistem peradilan tidak memihak siapapun—termasuk mereka yang berada di dalamnya. Sayangnya, putusan MA justru berbanding terbalik dengan harapan tersebut.
“20 tahun itu bukan sekadar angka. Itu simbol dari keinginan masyarakat melihat peradilan bersih dan berani,” tambah Boyamin.
Publik Terancam Apatis
Tak hanya MAKI, banyak pihak khawatir bahwa pemangkasan vonis terhadap Gazalba bisa memperparah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Di tengah upaya membangun integritas dan transparansi, keputusan semacam ini bisa menjadi bumerang.
Saat hukum mulai terlihat pilih kasih—tajam ke bawah tapi tumpul ke atas—maka yang muncul bukan hanya kekecewaan, melainkan apatisme. Masyarakat bisa kehilangan semangat untuk melawan korupsi, sebab mereka merasa perjuangan itu tidak akan mendapatkan dukungan nyata dari institusi hukum.
Seruan Evaluasi dan Reformasi
MAKI pun mendesak agar MA melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme peninjauan kembali dan banding, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat negara. Mereka juga menyerukan pentingnya pengawasan publik terhadap setiap proses pengadilan yang melibatkan pejabat tinggi.
“Kita tidak bisa terus-menerus menyerahkan semuanya pada sistem yang rapuh. Pengawasan sipil dan tekanan publik adalah kunci untuk memastikan hukum tetap berpihak pada kebenaran,” pungkas MAKI.
Kasus Gazalba Saleh kini menjadi refleksi penting bagi peradilan di Indonesia. Jika lembaga setinggi Mahkamah Agung tak mampu menunjukkan ketegasan dalam menegakkan keadilan, maka perjuangan antikorupsi akan terus berjalan di jalan yang terjal. Harapan 20 tahun penjara memang tinggal harapan, tapi tekanan publik tak boleh padam.