213 Hektare Hangus: Polda Riau Bongkar Jaringan Pembakar Hutan
Musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali memunculkan mimpi buruk: kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di Riau, setidaknya 213 hektare lahan terbakar, memaksa pihak kepolisian bertindak cepat. Hasilnya mencengangkan—sebanyak 29 tersangka berhasil ditangkap, mengungkap praktik terorganisir di balik peristiwa yang merusak ekosistem ini.
Operasi Skala Besar: Polisi Gerak Cepat
Polda Riau melalui jajaran reskrim dan dukungan dari kepolisian sektor (polsek) serta TNI bergerak dalam sebuah operasi terpadu. Dalam waktu singkat, mereka mengidentifikasi sejumlah titik api yang mencurigakan dan menindaklanjuti dengan penyelidikan di lapangan. Hasil investigasi menemukan bahwa sebagian besar kebakaran terjadi akibat ulah manusia, bukan faktor alam.
Dari total 213 hektare yang terbakar, mayoritas merupakan lahan gambut, jenis tanah yang sangat rawan terbakar dan sulit dipadamkan. Dengan data satelit dan patroli darat, aparat menemukan pola pembakaran seragam—indikasi kuat bahwa kebakaran ini tidak spontan, melainkan direncanakan.
29 Tersangka, Motif Ekonomi Jadi Pemicu
Penangkapan terhadap 29 tersangka menyibak tabir praktik pembakaran hutan demi pembukaan lahan cepat. Para pelaku diketahui menyulut api untuk menghemat biaya pembukaan lahan pertanian atau perkebunan, terutama untuk sawit dan tanaman semusim.
Yang mengejutkan, beberapa di antara mereka bekerja dalam jaringan, baik sebagai pemilik lahan, eksekutor lapangan, hingga pihak yang membiayai operasi. Polisi saat ini sedang mendalami apakah ada keterlibatan korporasi dalam aksi ilegal ini, mengingat beberapa titik kebakaran terjadi di lahan konsesi perusahaan.
Ancaman Hukum: Hukuman Berat Menanti
Kepolisian menegaskan bahwa penegakan hukum akan dilakukan tanpa pandang bulu. Para tersangka dijerat dengan Pasal 108 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar.
Kapolda Riau juga menekankan pentingnya efek jera agar praktik serupa tak terulang. “Kami tidak akan berhenti sampai di sini. Penindakan terus berlanjut, dan kami ajak masyarakat untuk melaporkan aktivitas pembakaran mencurigakan,” tegasnya dalam konferensi pers.
Dampak Lingkungan dan Sosial: Asap Kembali Menghantui
Selain kerugian ekologis, kebakaran ini telah berdampak langsung pada masyarakat. Sejumlah wilayah di Riau mulai dilanda kabut asap, memicu gangguan pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia. Sekolah-sekolah di beberapa kabupaten pun mulai bersiap menghadapi kemungkinan belajar daring jika kualitas udara terus memburuk.
Aktivis lingkungan menyuarakan keprihatinan mendalam. “Setiap tahun kita ulang kisah yang sama. Ini bukan soal cuaca, tapi soal keengganan bertindak tegas terhadap pembakar lahan,” ujar salah satu penggiat dari WALHI Riau.
Perlu Kolaborasi Jangka Panjang
Kasus ini menjadi peringatan bahwa penanganan karhutla tidak cukup hanya dengan pemadaman, tetapi butuh pengawasan ketat, penegakan hukum, dan edukasi masyarakat. Kolaborasi antara aparat, masyarakat, dan korporasi menjadi kunci agar tragedi ekologis semacam ini tak lagi menjadi langganan tahunan.
Polda Riau telah menunjukkan langkah berani dalam mengungkap jaringan pelaku pembakaran. Kini, tugas selanjutnya adalah memastikan keadilan ditegakkan dan alam Riau diselamatkan.